Jakarta – Rencana pemerintah untuk mengubah status mitra pengemudi dan kurir digital menjadi karyawan tetap menuai sorotan tajam. Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak serius terhadap ketahanan ekonomi nasional, termasuk ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan penurunan produktivitas sektor digital.
Menurut Agung, pemberlakuan klasifikasi ulang mitra platform sebagai karyawan tidak hanya akan membatasi fleksibilitas kerja, tetapi juga mengancam keberlangsungan usaha jutaan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergantung pada layanan pengantaran digital.
“Dampaknya bisa signifikan. Diperkirakan hanya 10 hingga 30 persen mitra yang dapat diserap sebagai karyawan. Artinya, 70 sampai 90 persen lainnya bisa kehilangan pekerjaan,” kata Agung dalam keterangannya, Selasa (22/4/2025).
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa langkah tersebut bisa memperlambat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hingga 5,5 persen. Bahkan, potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 178 triliun, termasuk efek berantai di sektor lain.
Agung menegaskan pentingnya melakukan kajian menyeluruh terhadap dampak regulasi sebelum diterapkan. Ia menyarankan pemerintah untuk menempuh pendekatan regulatory impact assessment (RIA) guna mengukur efektivitas kebijakan secara komprehensif.
“Bukan berarti karena negara lain menerapkan, kita harus ikut. Di Spanyol misalnya, setelah Uber diwajibkan menjadikan pengemudi sebagai pegawai tetap, 83 persen mitra justru diputus. Hal serupa terjadi di Swiss,” ujarnya.
Selain mengancam jutaan pengemudi, perubahan status ini juga dinilai dapat merugikan masyarakat luas yang mengandalkan layanan pesan-antar harian, seperti makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok.
“Dalam situasi krisis atau daerah terpencil, layanan digital sangat krusial. Jika akses terbatas, risiko krisis logistik meningkat. UMKM pun bisa terpukul karena distribusi produk mereka menjadi lebih sempit,” tutupnya.