Surabaya – Di tengah hiruk-pikuk Kota Surabaya, seorang pria paruh baya memungut puntung rokok untuk dilinting kembali. Bukan karena tak mampu membeli, tapi karena harus memilih: rokok atau makan.
“Begini-begini saya juga mikir lho mas. Daripada rokok ilegal, yang penting ada cukainya, kan itu buat negara,” ujarnya sembari melinting puntung rokok kretek menjadi satu lintingan baru.
Fenomena ini menggambarkan realitas rumit di tengah masyarakat kelas bawah terkait Cukai Hasil Tembakau (CHT). Di sisi lain, tekanan kenaikan cukai tahun 2026 kian menebar kekhawatiran di sektor industri dan para pekerja di Jawa Timur.
Tak heran jika isu ini mengemuka dalam peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei 2025 lalu. Dalam momen tersebut, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa secara tegas menyatakan dukungannya untuk menolak kenaikan cukai tembakau serta menolak wacana cukai untuk makanan dan minuman manis.
“Saya merekomendasikan revisi terhadap PP Nomor 28 Tahun 2024, terutama pasal-pasal yang menyentuh tembakau, makanan, dan minuman,” tegas Khofifah di hadapan ribuan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (RTMM) Jawa Timur.
Ketua RTMM Jatim, Purnomo, menambahkan bahwa perjuangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup jutaan pekerja di sektor strategis tersebut.
“Ini bukti nyata keberpihakan terhadap rakyat kecil. Terima kasih Gubernur Khofifah,” ujar Purnomo.
Jawa Timur memang menjadi barometer industri hasil tembakau nasional. Hingga akhir 2024, tercatat ada 1.352 unit Industri Hasil Tembakau (IHT) di provinsi ini—terbesar di Indonesia. Jumlah ini meliputi industri besar, menengah, hingga kecil, dengan kontribusi besar terhadap lapangan kerja, baik di hulu maupun hilir.
Dampaknya, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur cukup mengesankan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Jatim tumbuh 5 persen (yoy) pada triwulan I tahun 2025, melampaui angka nasional maupun provinsi besar lainnya.
PDRB Jawa Timur pada periode yang sama mencapai Rp819,30 triliun, didominasi sektor industri pengolahan, perdagangan, pertanian, serta makanan dan minuman. Bersamaan itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jatim juga menurun menjadi 3,61 persen pada Februari 2025.
Namun capaian ini bisa terganggu jika kebijakan fiskal seperti kenaikan cukai tembakau tidak dikaji secara menyeluruh.
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang selama ini digunakan untuk layanan kesehatan, bantuan tenaga kerja IKM, hingga penegakan hukum bisa terganggu bila sistem CHT tidak dijaga baik.
Maka dari itu, semua pihak diajak untuk menjaga keberlangsungan industri tembakau secara bijak: tidak hanya demi ekonomi, tapi juga demi keseimbangan sosial dan keberlangsungan hidup rakyat kecil.