Surabaya – Cuaca cerah berawan mendominasi langit di sejumlah wilayah Surabaya sepanjang hari ini. Sejak pagi hingga malam, langit diprediksi bersih dari hujan, dengan suhu udara yang cukup ekstrem untuk musim kemarau, mencapai 36 derajat Celsius. Meski awan silih berganti menyelimuti langit, potensi hujan tetap nihil.
Dari pagi pukul 07.00 hingga 10.00, atmosfer terasa segar namun perlahan menghangat. Suhu awal yang berkisar 26 derajat meningkat cepat hingga 31 derajat Celsius, sementara kelembapan menurun dari kondisi sangat lembap ke tingkat sedang. Cuaca semacam ini banyak ditemui di wilayah dataran rendah dan perkotaan besar yang sedang memasuki fase puncak musim kemarau.
Memasuki siang hingga sore hari, suhu terus melonjak. Awan mulai menggelayut di langit, menciptakan kondisi berawan hingga mendung. Namun, tingginya suhu tetap bertahan di angka 32 hingga 36 derajat Celsius, menghasilkan sensasi panas yang menyengat. Angin bertiup ringan dari timur, namun tidak cukup memberi kesejukan berarti. Kelembapan udara tetap di angka kritis, 55 hingga 60 persen—cukup untuk menahan panas dan membuat tubuh cepat berkeringat.
Ketika malam tiba, suhu mulai turun perlahan ke kisaran 26 hingga 29 derajat Celsius. Awan yang sebelumnya menebal mulai menyurut, namun langit tetap tidak sepenuhnya cerah. Kondisi kelembapan meningkat kembali, melebihi 80 persen, memberikan sensasi gerah di beberapa wilayah padat penduduk.
Di tengah situasi cuaca yang tampak stabil dan bersahabat, tersembunyi risiko yang tak boleh diremehkan. Musim kemarau kali ini berlangsung kering dan panjang. Tanpa hujan dan dengan suhu tinggi yang terus berulang, lahan-lahan kering menjadi sangat rentan terhadap percikan api sekecil apa pun.
Risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semakin besar. Tak hanya di wilayah gambut atau hutan, tapi juga di kawasan pinggiran kota, lahan tidur, hingga kebun warga. Citra satelit menunjukkan rendahnya pembentukan awan hujan, terlihat dari dominasi warna kuning dan oranye yang menyelimuti sebagian besar atmosfer wilayah Indonesia.
Meski teknologi hujan buatan sempat diaktifkan di beberapa lokasi, hasilnya belum mampu mengubah situasi secara permanen. Sementara itu, aktivitas manusia yang lalai masih menjadi faktor utama penyebab kebakaran—mulai dari pembakaran sampah terbuka, membuka lahan dengan cara dibakar, hingga puntung rokok yang dibuang sembarangan.
Masyarakat kini dituntut untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Dalam cuaca panas dan tanah yang kian mengering, satu percikan api bisa berubah menjadi bencana besar. (*)