Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Misteri

Penjaga Tak Terlihat, Antaboga dan Rahasia Dalam Bumi Bali

×

Penjaga Tak Terlihat, Antaboga dan Rahasia Dalam Bumi Bali

Share this article
Antaboga, Sang penjaga misterius di bawah tanah Bali
Antaboga, Sang penjaga misterius di bawah tanah Bali
Example 468x60

Bali – Di kaki Gunung Agung, tersembunyi kepercayaan kuno yang tak banyak diketahui wisatawan. Tentang naga yang tidak tampak, tidak berbicara, tapi menjaga keseimbangan Bali dengan napasnya yang dalam.

Getaran dari Bawah Tanah

Example 300x600

Pagi itu, kabut turun lebih cepat di Desa Besakih, Karangasem. Udara di kaki Gunung Agung terasa lebih berat dari biasanya. Tidak ada suara kendaraan, tidak juga celoteh turis. Hanya angin dan suara lontong sesajen yang dibakar perlahan.

Di dalam pelataran sunyi Pura Goa Raja, empat pemangku duduk bersila dalam hening. Di hadapan mereka, sesajen diletakkan dengan sangat hati-hati: telur ayam kampung, air kelapa muda, dan bunga cempaka kuning. Tidak ada dupa menyala. Tidak ada gamelan atau tari-tarian.

Yang mereka sembah bukan dewa langit. Bukan pula leluhur. Tapi sosok gaib bernama Antaboga, naga suci yang dipercaya sebagai penyangga dunia dari bawah.

“Antaboga itu tidak berbentuk patung, tidak pernah terlihat. Tapi kalau kamu sudah sering di sini, kamu akan tahu kapan ia hadir,” kata Ida Pedanda Gede Loka, seorang pemuka spiritual di Karangasem yang telah puluhan tahun melayani pura-pura tua di sekitar Gunung Agung.

Bukan Mitos, Tapi Kehadiran yang Dirasakan

Dalam naskah-naskah lontar kuno seperti Adiparwa dan Tantu Panggelaran, Antaboga diceritakan sebagai makhluk pertama yang lahir dari kekosongan, jauh sebelum para dewa turun ke dunia. Ia digambarkan sebagai ular naga raksasa bersisik emas, yang tubuhnya membelit inti bumi sebanyak tujuh kali.

Dari semedinya, menurut mitologi Hindu-Bali, Antaboga menciptakan Bedawang Nala, seekor kura-kura raksasa yang menopang dunia. Bila Bedawang menggeliat, bumi akan berguncang. Tapi penggeliatan itu bukan tanpa alasan. Ia hanya terjadi jika ada ketidakseimbangan, baik oleh kerusakan alam, pelanggaran adat, atau lupa akan ritual penghormatan kepada bumi.

“Antaboga tidak mengganggu manusia. Tapi kalau kita mengganggu tanah, hutan, air… ia pasti akan bergerak,” ujar Pedanda Loka. Ia menyebutnya sebagai ‘bahasa bawah’, getaran yang tidak terdengar, tapi bisa dirasakan mereka yang peka.

Jalan Napas Naga

Pura Goa Raja dipercaya sebagai salah satu dari sedikit tempat suci di Bali yang terhubung langsung ke ‘jalan napas Antaboga’. Di dalamnya, terdapat lorong sempit alami, gelap dan basah, yang tidak bisa dimasuki sembarangan.

“Lorong itu bukan sekadar gua,” jelas Jro Mangku Tama, penjaga pura yang mewarisi tugas itu dari ayah dan kakeknya. “Itu saluran pernapasan Antaboga. Jika kamu masuk tanpa izin, kamu bisa tersesat… bukan secara fisik, tapi secara batin.”

Menurut kepercayaan setempat, siapa pun yang hendak masuk ke lorong itu harus melakukan puasa dan pembersihan diri selama tiga hari. Bahkan para pemangku pun tidak bisa sembarangan. “Bukan karena kami takut, tapi karena kami menghormati,” kata Jro Mangku.

Ketika Naga Mulai Bergerak

Satu minggu sebelum Gunung Agung meletus pada tahun 2017, sejumlah warga sekitar mengaku mengalami mimpi yang sama: seekor naga membara yang menggeliat di dalam bumi, diselimuti kabut dan api. Beberapa bahkan merasakan gempa kecil yang tidak terdeteksi BMKG.

“Setiap kali alam besar bergerak, entah gunung meletus atau tanah longsor, biasanya ada tanda dari bawah,” kata Jro Mangku. “Itu bukan pertanda kemarahan. Itu cara alam menyampaikan bahwa sesuatu tidak seimbang.”

Fenomena ini tidak hanya terjadi sekali. Dalam catatan tidak resmi para pemangku dan tetua adat, kejadian serupa pernah tercatat saat tanah retak tiba-tiba di kaki gunung, atau saat suara mendesis terdengar dari sumur tua, tak lama sebelum hujan besar dan longsor terjadi.

Upacara Tanpa Genta

Banyak yang mengira semua upacara di Bali ditujukan untuk para dewa langit atau roh leluhur. Padahal ada ritual khusus yang lebih sunyi, lebih dalam—disebut upacara nyegara gunung, atau persembahan untuk penghuni dasar bumi.

Persembahan ini dilakukan di tempat-tempat rendah: di dasar sumur, mulut gua, atau lereng gunung yang sepi. Tidak ada gamelan. Tidak ada keramaian. Hanya bisikan doa, air kelapa, dan cempaka kuning yang ditanamkan ke tanah.

“Kalau ritual ini dilupakan, biasanya muncul gejala,” ujar Jro Mangku. “Retakan tanah tanpa sebab, sumur yang mengering tiba-tiba, atau bahkan suara-suara aneh dari bawah lantai.”

Naga yang Diam, Tapi Menyaksikan

Bagi masyarakat spiritual Bali, Antaboga bukan sekadar makhluk mitologis. Ia adalah roh penjaga tanah, kekuatan sunyi yang memeluk pulau ini dari bawah. Ia tidak pernah muncul dalam upacara besar. Tidak ikut menari, tidak ikut arak-arakan. Tapi tanpanya, bumi Bali dianggap tidak lengkap.

Dalam filosofi Bali, ada kekuatan yang bersuara dan ada pula yang diam tapi menyelubungi segalanya. “Yang terkuat bukan yang bersinar di atas panggung,” kata Pedanda Gede Loka sambil menatap tanah basah di bawah kakinya. “Yang terkuat adalah yang menunggu dalam diam, tapi menjaga segalanya tetap utuh.”

Hari mulai beranjak sore di kaki Gunung Agung. Kabut semakin turun. Lorong gua ditutup kembali, dan para pemangku meninggalkan sesajen mereka dalam hening. Tak ada upacara besar. Tak ada gong dipukul.

Namun bumi terasa sedikit lebih tenang.

Karena mungkin, Antaboga telah menerima persembahannya hari ini. (*)

Example 300250
Example 120x600