Surabaya – Pernyataan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Galih yang menyatakan tidak ada mens rea (niat jahat) dari terdakwa Semy Mattinahoruw melakukan penganiayaan terhadap korban Lendik Prandika menggunakan parang hingga membuat tiga jari tangan kiri mengalami luka robek, dikomentari oleh ahli hukum pidana Bastianto Nugroho SH., M.Hum.
Dosen pengajar ilmu hukum di Universitas Merdeka Surabaya itu berpendapat tidak adanya mens rea itu sangat keliru. Sebab, terdakwa dengan secara sadar mengambil parang itu.
“Berarti kan dia (terdakwa) secara sadar lho ambil parang itu berniat untuk melakukan sesuatu,” tutur Bastianto saat diwawancarai pada, Rabu (13/8/25).
Dijelaskan Bastianto bahwa mens rea itu ada tiga, kesengajaan (dolus), kelalaian (culpa) dan ketidak hati-hatian.
“Contoh nih, Si A tidak sengaja menyerempet si B hinga jatuh dan mengalami robek di kepala. Apa itu tidak masuk mens rea. Ya masuk mens rea karena kelalaian (culpa). Apalagi ini dolusnya ada,” jelasnya.
Terkait dengan pernyataan JPU Galih bahwa luka yang ditimbulkan hanyalah goresan, Bastianto menegaskan bahwa unsur pidana penganiayaan sudah terpenuhi. Sebab, sudah ada timbul luka berdasarkan hasil Visum et Repertum.
“Walaupun itu hanya goresan, luka memar atau rasa sakit, sudah masuk unsur pidana penganiayaannya. Apalagi sudah divisum hasilnya luka goresan itu dihasilkan dari benda tajam. Berarti kan ada korelasi toh. Berkesesuaian dengan perbuatan dan peristiwa (tindak pidana),” tegas Bastianto.
Lebih lanjut Bastianto menjelaskan bahwa secara hukum, pasal penganiayaan tersebut harus menjadi unsur pokoknya. Terkait pengancaman hanya subsidair saja.
“Itu (penganiayaan) seharusnya jadi unsur pokok yang dibuktikan. Pengancaman itu subsidairnya. Primernya itu sudah terjadi penganiayaan. Silahkan kalau mau dibuktikan pengancaman, tetapi peristiwa itu faktanya telah terjadi penganiayaan. Kok bisa dikatakan penganiayaan, karena salah satu unsur pada pasal 351 KUHP sudah terpenuhi. Apa itu, terjadinya luka. Titik,” katanya.
Bastianto mengatakan semua tindak pidana itu berdasarkan hasil visum. Seorang JPU tidak bisa mengatakan yang berbeda dengan keterangan ahli medis yang menyatakan itu luka robek namun dibantah hanya goresan.
“Semua itu kan dasarnya dari visum, dari ahli medis. Tidak bisa dia (JPU) mengartikan sendiri, menganalogikan sendiri,” ucapnya.
Menurut Bastianto, kejahatan atau tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa harus dibuktikan dengan Visum et Repertum.
“Karena hasil visum itulah dijadikan bukti permulaan polisi untuk melakukan penyelidikan terkait adanya dugaan tindak pidana penganiayaan. Pasti begitu, wong ini proses hukum tertulis lho,” katanya.
Saat ditanya terkait apakah atas temuan ini bisa dilaporkan kepada Komisi Kejaksaan (Komjak), Bastianto mengatakan sangat bisa.
“Bisa dilaporkan. Ke Komjak RI. Upaya masyarakat bisa melaporkan. Dugaan penyalahgunaan wewenang oleh jaksa,” ujarnya.