Sidoarjo – Aturan mengenai pembayaran royalti musik yang dikeluarkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kembali menuai sorotan publik. Setelah sebelumnya menimbulkan polemik di kalangan pelaku usaha rumah makan dan kafe, kini giliran para sopir dan penumpang bus yang menyuarakan kekecewaan mereka. Kebijakan tersebut dianggap memberatkan dan mengganggu kenyamanan selama perjalanan.
Salah satu sopir bus antarkota, Joko, menyampaikan rasa kecewanya ketika ditemui awak media I-Todays di Terminal Purabaya pada Rabu (20/08/2025).
Ia menjelaskan bahwa dirinya telah menginvestasikan dana pribadi untuk membeli perlengkapan hiburan seperti sound system dan layar LCD guna menciptakan pengalaman perjalanan yang menyenangkan bagi penumpang. Namun, dengan adanya aturan baru terkait royalti musik, perangkat hiburan tersebut kini tak lagi difungsikan.
“Awalnya saya membeli alat musik di bus supaya penumpang bisa merasa terhibur dan tidak bosan di perjalanan. Tapi dengan aturan baru soal royalti musik ini, saya jadi takut untuk memutar musik. Rasanya sangat kecewa karena investasi yang saya lakukan kini tidak bermanfaat,” ujar Joko.
Tak hanya dirasakan sopir, para penumpang pun turut mengeluhkan suasana perjalanan yang kini terasa lebih sunyi dan membosankan. Ali, seorang penumpang asal Gresik yang sedang melakukan perjalanan ke Malang, mengungkapkan bahwa musik dalam bus sebelumnya menjadi hiburan yang dinanti selama di perjalanan.
“Saat ini perjalanan terasa hening. Biasanya ada musik yang membuat suasana lebih hidup, tapi sekarang sopir tidak berani memutarnya karena takut dengan aturan royalti. Jujur saja, jadi kurang nyaman,” keluh Ali.
Keluhan serupa datang dari Muhammad, penumpang asal Surabaya yang biasa menggunakan jasa bus pariwisata. Menurutnya, salah satu daya tarik dari bus pariwisata adalah keberadaan karaoke dan musik yang bisa dinikmati bersama. Ia menilai kebijakan ini berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk bepergian dengan bus.
“Saya pribadi sangat suka karaoke kalau naik bus pariwisata. Itu bagian dari keseruan saat bepergian, apalagi kalau sedang liburan. Tapi sekarang suasananya jadi sepi. Menurut saya, aturan ini justru mengurangi daya tarik bus pariwisata,” ujar Muhammad.
Ia pun berharap agar pemerintah dan LMKN bisa meninjau ulang penerapan aturan tersebut, atau setidaknya memberikan pengecualian terhadap transportasi umum seperti bus antarkota dan bus pariwisata. Menurutnya, keberadaan hiburan musik di dalam bus merupakan bagian penting dari kenyamanan perjalanan jarak jauh.
“Kalau bisa aturan ini dicabut atau ada kebijakan khusus untuk bus pariwisata dan angkutan umum. Supaya penumpang bisa tetap menikmati perjalanan dengan musik atau karaoke seperti biasanya,” imbuhnya.
Sementara itu, di kalangan sopir dan pengusaha bus, muncul kebingungan dalam menyikapi kebijakan ini. Mereka menyatakan tidak keberatan jika harus menghargai hak cipta musisi, namun berharap ada mekanisme yang lebih adil dan tidak terlalu membebani pelaku transportasi.
“Kami bukan tidak mau bayar, tapi tolong dikaji juga apakah bus umum perlu disamakan dengan tempat usaha seperti restoran. Kami hanya ingin memberikan kenyamanan pada penumpang,” kata salah satu pengelola PO bus yang enggan disebutkan namanya.
Perlu ada peraturan teknis yang lebih rinci. Jangan sampai niat baik untuk melindungi hak musisi justru menurunkan kualitas layanan transportasi umum.
Di tengah berbagai keluhan tersebut, LMKN hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi mengenai kemungkinan peninjauan ulang terhadap aturan tersebut. Sementara itu, para sopir dan penumpang berharap ada kepastian hukum yang lebih jelas dan tidak menyulitkan pihak yang sudah berupaya memberikan pelayanan terbaik.
Hiburan musik dalam perjalanan bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari pengalaman yang dirasakan oleh penumpang selama di perjalanan. Aturan royalti yang tidak mempertimbangkan konteks transportasi publik berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap sektor tersebut, baik dari sisi pelayanan maupun minat masyarakat dalam menggunakan angkutan umum.
“Kami mendukung perlindungan hak cipta musisi, tapi tolong pertimbangkan juga kondisi di lapangan. Jangan sampai niat melindungi satu pihak justru mengorbankan kenyamanan banyak orang,” tutup Joko, mewakili keresahan banyak sopir bus lainnya. (rif)