Jakarta – Pemerintah menggelontorkan rencana ambisius membangun 200 “Sekolah Rakyat”, sebuah program pendidikan berasrama untuk anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Namun, muncul berbagai kritik yang mempertanyakan efektivitas dan urgensi program ini, terutama karena anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp150 miliar per sekolah, atau total Rp30 triliun.
Program ini digadang-gadang sebagai terobosan untuk “memuliakan keluarga miskin” dan “memutus mata rantai kemiskinan”. Tapi di balik jargon besar itu, muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar: apakah program ini sudah disosialisasikan dengan baik? Apakah sekolah eksklusif untuk anak-anak miskin benar-benar solusi, atau justru bentuk pengasingan baru yang tak menyentuh akar masalah pendidikan?
Minim Sosialisasi, Banyak Pertanyaan
Tutiek Budhawati, seorang buruh cuci di Solo, hanya beberapa kilometer dari lokasi rencana Sekolah Rakyat, bahkan belum pernah mendengar program ini. “Sekolah Rakyat itu mencakup semua jenjang sekolah? Saya tidak tahu apa-apa,” ujarnya.
Kondisi serupa juga terjadi di Makassar dan Batam. Warga sekitar lokasi proyek belum mengetahui detail program, bahkan banyak yang baru mendengar namanya saat diwawancarai media.
Kritik dari Akar Rumput dan Akademisi
Bukan hanya warga, para pengamat pendidikan juga mengajukan kritik tajam. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebut program ini rawan korupsi karena dana besar dan pengelolaan oleh Kementerian Sosial—lembaga yang tidak memiliki pengalaman dalam pendidikan.
“Itu seperti membuka ladang baru untuk penyelewengan dana. Skemanya sama seperti BOS atau PIP, dan banyak korupsi terjadi di situ,” ujar Ubaid.
Sementara pengamat dari UIN Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah, menyoroti efektivitas. Menurutnya, biaya besar untuk sekolah asrama dengan kapasitas terbatas justru menciptakan ketidakadilan.
“Lebih baik uang Rp30 triliun dipakai untuk menggratiskan dan memperbaiki kualitas SD-SMA yang sudah ada. Itu menyentuh mayoritas anak miskin,” tegas Jejen.
Meniru Kolonialisme?
Kritik lain menyebut bahwa konsep sekolah khusus bagi kelompok sosial tertentu dapat menciptakan segregasi pendidikan, layaknya sistem di masa kolonial.
“Ini mirip zaman Belanda, ada sekolah untuk anak elite dan sekolah untuk rakyat. Padahal pendidikan seharusnya menyatukan,” tambah Ubaid.
Pemerintah Tetap Optimistis
Meski banjir kritik, pemerintah tetap melaju. Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul optimistis program ini akan menciptakan 500.000 agen perubahan dalam lima tahun.
“Ini cara kita memutus transmisi kemiskinan melalui pendidikan,” kata Gus Ipul.
Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat, Muhammad Nuh, menambahkan bahwa sekolah ini akan memiliki kurikulum nasional ditambah keterampilan digital seperti coding dan keamanan siber.
Solusi atau Ilusi?
Di atas kertas, Sekolah Rakyat adalah mimpi indah: pendidikan gratis, fasilitas lengkap, fokus pada kelompok rentan. Tapi di lapangan, belum ada petunjuk teknis jelas, belum menyentuh masyarakat sasaran, dan kritik dari berbagai pihak kian nyaring.
Kini, publik menanti: apakah ini akan menjadi solusi nyata pengentasan kemiskinan melalui pendidikan, atau hanya proyek megah yang berakhir sebagai ilusi?