Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Internasional

Agenda Politik di Balik Perang Dagang Amerika China

×

Agenda Politik di Balik Perang Dagang Amerika China

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi perang dagang China - Amerika
Ilustrasi perang dagang China - Amerika
Example 468x60

Oleh: Johan Avie, S.H.

Baru juga pulih dari dampak resesi Covid-19, kini perekonomian global kembali diguncang oleh kegilaan Donald Trump menaikkan Tarif Impor bagi negara-negara lain. Parahnya, Republik Rakyat Tiongkok juga ikut-ikutan gila dengan strategi balas dendam, menaikkan tarif impor yang lebih besar terhadap Amerika Serikat. Perang Dagang pun dimulai. Untungnya pemerintah Indonesia memilih jalan negosiasi terhadap perang dagang antar kedua negara adidaya itu.

Example 300x600

Langkah Indonesia ini diikuti oleh sebagian besar negara di Asia Tenggara. Jalan terbaik mengingat negara-negara ASEAN tidak sekuat Tiongkok, dan tidak sebesar Amerika Serikat. Langkah negosiasi ini bukan tanpa resiko. Tawar-menawar pasti akan terjadi. Sudah pasti membuka peluang bagi Amerika Serikat untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan hukum nasional di Indonesia.

Sejarah Kelam Intervensi Amerika ke Indonesia

Penetrasi Amerika Serikat terhadap Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh sebelum perang dagang ini dimulai. John Pilger dalam buku The New Rulers of the World menyebutkan pada November 1967, The Time-Life Corporation menjadi sponsor konferensi istimewa di Geneva yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya adalah para kapitalis yang paling berkuasa di dunia. Semua raksasa korporasi diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja, Indonesia diwakili oleh menteri ekonomi di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro.

Jeffrey Winters dalam buku itu memberi kesaksian bahwa pada hari kedua konferensi itu, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. Mereka membaginya ke dalam lima seksi. Pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi. Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lain kepada wakil-wakil Pemerintah Indonesia.

Tidak berhenti sampai disitu. Upaya intervensi Amerika juga dilakukan dengan modus pemberian hutang luar negeri. Pengakuan John Perkins dalam buku Confessions of an Economic Hit Man cukup mencenangkan dunia saat ini. Perkins mengakui bahwa hutang yang diberikan oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia disalurkan kembali ke MAIN, dan Perusahaan lain seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root. Perusahaan itu bergerak di bidang konsultan yang bekerja melalui penjualan proyek-proyek raksasa di bidang rekayasa dan konstruksi. Pengakuan Perkins lain adalah soal tugasnya untuk mencengkram Indonesia agar terus berhutang pada Amerika Serikat. Seperti yang dikutip dalam bukunya, “Saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lain telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca: Indonesia) jadi target empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”

Intervensi Infrastruktur Hukum

Bradley Simpson dalam buku Economists with Guns menyebutkan, Amerika Serikat sangat dominan memengaruhi penyusunan Undang-Undang tentang investasi di Indonesia. Seorang konsultan dari Van Sickle Associates yang berdomisili di Denver membantu ekonom Widjojo Nitisastro untuk membuat draft Undang-Undang tentang penanaman modal asing. Mereka keberatan terhadap draf Undang-Undangnya karena memberikan terlalu banyak kewenangan ke pemerintah, karena sektor BUMN diberi peluang banyak bidang-bidang usaha yang diinginkan perusahaan-perusahaan besar asing yang ingin masuk ke sektor-sektor tersebut, terutama perusahaan-perusahaan ekstraktif.

Setelah draftnya dikoreksi habis-habisan, dan disetujui oleh Konsultan-Konsultan Asing, tepat pada tahun 1967 Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Intervensi Amerika saat itu tampak nyata tertuang pada Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang menyebutkan bahwa  perusahaan patungan swasta Indonesia dan swasta asing boleh memiliki dan menguasai bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, seperti Pelabuhan, produksi, transmisi, distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom, dan media massa.

Setahun kemudian, terbitlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968, dimana Pasal 3 ayat 1 nya menyebutkan, Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional. Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%. Artinya, pasal itu memungkinkan 49% saham perusahaan nasional dapat dimiliki oleh Para Investor Asing.

Aturan-aturan hasil titipan Investor Amerika Serikat kembali dituangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, dimana pada Pasal 5 ayat 1 nya menyebutkan bahwa Perusahaan-Perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media.

Puncaknya pada Tahun 2007 terbitlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang membuka peluang seluas-luasnya bagi Pemodal Asing untuk memiliki 100 persen saham Perusahaan di Indonesia. Dampaknya tentu eksploitasi besar-besaran. Dimana Perusahaan-perusahaan asing ini dimungkinkan untuk melakukan penarikan uang secara besar-besaran dari Indonesia, dan menyebabkan fluktuasi keuangan dalam negeri.

Renegosiasi Tarif Impor dan Resiko Menguatnya Intervensi Amerika

Menguatnya hubungan Pemerintah Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Rusia semasa Jokowi menjabat, tentu membuat Amerika Serikat tidak lagi dapat sepenuhnya melakukan intervensi besar-besaran seperti dulu. Semasa Presiden Prabowo pun, kebijakan ini masih diteruskan. Ketimbang berbisnis dengan Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia di bawah kendali Prabowo lebih memilih menjalin hubungan internasional dengan Tiongkok. Akibatnya, Trump menggila. Ia pun mengambil langkah ekstrim untuk menaikkan tarif impor menjadi 34 persen.

Sepertinya, Upaya renegosiasi tarif impor akan berdampak bagi menguatnya Intervensi Amerika terhadap Keadulatan Indonesia. Selain meraup untung dan mengurangi defisit ekonomi di negaranya, Trump tentu memiliki agenda politik lain terhadap Indonesia. Apalagi saham Amerika Serikat pada usaha-usaha pertambangan di Papua semakin berkurang akibat kebijakan nasionalisasi yang diterapkan semasa Presiden Joko Widodo menjabat.

Rakyat tentu berharap agar Tim Renegosiasi Indonesia tidak terjebak pada strategi politik Trump yang masih memiliki hasrat untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia. Di sisi lain, posisi tawar Indonesia di hadapan Amerika Serikat saat ini juga lemah. Melalui statement Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian, setidaknya ada 3 skenario yang ditawarkan oleh Indonesia kepada Amerika Serikat. Skenario pertama adalah Revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA) yang pernah ditandatangani pada tahun 1996. Skenario kedua adalah Deregulasi aturan mengenai hambatan non-tarif yang dapat membatasi perdagangan, salah satunya seperti pemberlakuan Tingkat komponen dalam negeri. Skenario ketiga adalah memberikan kelonggaran terhadap larangan terbatas, percepatan halal, pembiayaan, dan lain sebagainya.

Kesemua tawaran yang diajukan Indonesia adalah semata-mata tawaran di bidang finansial. Trump tentu bukan sekedar ingin cuan. Secara politik dan hukum, Trump menginginkan menguatnya pengaruh Amerika Serikat di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Oleh karenanya, Tim Renegosiasi yang dikirimkan ke Amerika Serikat juga harus dibekali dengan pengetahuan ekonomi-politik yang memadai, bukan sekedar pandai bernegosiasi soal harga semata-mata.

Example 300250
Example 120x600