Jakarta — Gelombang kritik mengarah kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri setelah muncul kabar bahwa institusi tersebut menolak untuk memenuhi petunjuk jaksa penuntut umum dalam perkara dugaan tindak pidana pada proyek Pagar Laut. Keputusan ini menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan praktisi hukum karena dinilai bertentangan dengan prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Penolakan terhadap petunjuk yang tertuang dalam Surat P-19 dari Kejaksaan dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam sistem hukum Indonesia, hubungan antara penyidik dan penuntut umum tidak dapat dipisahkan dan diatur secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dasar Hukum yang Dilanggar
Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP secara jelas menyatakan:
“Jika penuntut umum berpendapat bahwa penyidikan belum lengkap, maka berkas dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Penyidik setelah melengkapi segera menyerahkan kembali kepada penuntut umum.”
Lebih lanjut, Pasal 14 huruf b KUHAP menegaskan bahwa:
“Jaksa mempunyai wewenang untuk: melakukan penuntutan dan memberikan petunjuk dalam rangka penyidikan kepada penyidik, sesuai dengan ketentuan undang-undang.”
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan:
“Kejaksaan berwenang dalam bidang pidana untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dilakukan secara koordinatif dengan penyidik.”
Konsekuensi Penolakan Petunjuk Jaksa
Apabila penyidik menolak atau tidak memenuhi petunjuk jaksa, maka:
Berkas perkara tidak dapat dinyatakan lengkap (P-21), sehingga proses hukum terhenti di tingkat penyidikan;
Tersangka dapat mengajukan praperadilan, karena haknya untuk segera diadili terhambat;
Terjadi pelanggaran terhadap prinsip koordinasi dan integrasi dalam sistem peradilan pidana terpadu;
Berpotensi menimbulkan pelanggaran etik dan disiplin oleh oknum penyidik, terutama jika didasari oleh kepentingan non-hukum.
Pakar Hukum Angkat Bicara
Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., pakar hukum pidana dan mantan Dirjen HAM Kemenkumham, menekankan pentingnya fungsi koordinatif antara penyidik dan jaksa:
“Hubungan antara penyidik dan penuntut umum adalah relasi fungsional yang saling melengkapi, bukan saling mendominasi. Petunjuk jaksa bersifat mengikat dalam rangka penuntutan yang efektif dan efisien.”
Senada dengan itu, Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, menyatakan:
“Jika penyidik tidak melengkapi berkas sesuai petunjuk jaksa, maka penuntut umum tidak dapat melakukan penuntutan. Hal ini bertentangan dengan asas due process of law karena menunda akses tersangka terhadap pengadilan.”
Sementara itu, Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LLM., menegaskan:
“Petunjuk P-19 adalah bagian dari mekanisme checks and balances agar proses hukum tidak timpang. Mengabaikan petunjuk jaksa adalah tindakan melawan hukum karena menghambat fungsi kontrol dalam proses pidana.”
Publik Menanti Kejelasan
Penolakan Bareskrim ini menimbulkan tanya besar di masyarakat. Mengapa petunjuk jaksa diabaikan? Apakah ada motif non-prosedural di baliknya? Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Bareskrim Polri terkait alasan penolakan tersebut.
Kasus Pagar Laut, yang diduga melibatkan kerugian keuangan negara dan potensi tindak pidana korupsi, menjadi ujian serius bagi integritas penegakan hukum di Indonesia. Publik berharap semua lembaga penegak hukum menjalankan tugasnya secara profesional, objektif, dan tunduk pada aturan hukum yang berlaku.
Penegakan hukum yang adil hanya dapat tercapai apabila setiap institusi bekerja sesuai fungsi, wewenang, dan prosedur hukum. Jika penyidik menolak petunjuk penuntut umum, maka sistem hukum kehilangan keseimbangannya, dan yang menjadi korban adalah keadilan itu sendiri.
Negara hukum tidak boleh tunduk pada ego sektoral. Petunjuk jaksa bukan pilihan, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi dalam rangka keadilan.