Surabaya – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai gebrakan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, dalam menangani anak-anak bermasalah melalui program Rumah Inkubasi Anak Surabaya (RIAS) jauh lebih manusiawi dan layak dijadikan percontohan nasional.
Pernyataan ini disampaikan menyusul kritik terhadap program barak militer yang diterapkan di Jawa Barat oleh Dedi Mulyadi. Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, secara tegas meminta agar program berbasis pendekatan disiplin ala militer tersebut dihentikan sementara untuk dievaluasi, khususnya dalam hal dampaknya terhadap anak-anak.
“Kami sudah menyampaikan hasil pengawasan kepada pemerintah daerah. Program barak militer perlu dihentikan sementara hingga regulasinya jelas dan evaluasi dilakukan,” ujar Jasra.
Berbeda dengan itu, KPAI justru memberikan apresiasi kepada program RIAS yang diluncurkan Pemkot Surabaya sejak 2023. Program ini lahir dari keprihatinan Wali Kota Eri terhadap kondisi keluarga yang tidak mampu secara ekonomi maupun psikologis dalam mendidik anak-anaknya.
“Saya mengumpulkan semua data. Sebanyak 99 anak bermasalah karena orangtuanya tidak dalam kondisi baik-baik saja,” ucap Eri.
RIAS hadir dengan konsep Satu Keluarga, Satu Sarjana, yang tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga pendampingan psikologis, pendidikan karakter, dan keterampilan hidup. Selain itu, program ini melibatkan warga dan pengusaha sebagai orangtua asuh yang membantu membiayai kebutuhan anak, mulai dari listrik, tempat tidur, hingga perlengkapan belajar.
“Ini adalah gerakan bersama seluruh warga Surabaya yang mampu. Mereka bersedia menjadi orangtua asuh,” kata Eri.
Di RIAS, anak-anak juga dibina dalam lingkungan yang memiliki aturan jelas—jam malam, kewajiban beribadah, serta disiplin dalam ucapan dan tindakan. “Kami betul-betul ingin menciptakan anak-anak yang berakhlak. Karena kekuatan segalanya ternyata berasal dari akhlak,” tegas Eri.
KPAI menilai pendekatan RIAS lebih tepat karena mengedepankan pemulihan, dukungan keluarga, dan pendidikan karakter, bukan hukuman keras. Surabaya pun dinilai berhasil membuktikan bahwa penanganan anak-anak bermasalah tak perlu bersifat represif.