Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
HukrimHeadline

Dugaan Korupsi Jembatan Rp13 Miliar: Ahli Hukum Bongkar Aspek Pidana dan Administrasi di Persidangan

×

Dugaan Korupsi Jembatan Rp13 Miliar: Ahli Hukum Bongkar Aspek Pidana dan Administrasi di Persidangan

Sebarkan artikel ini
Dua orang ahli pidana dan administrasi memberikan keterangan terkait dugaan korupsi jembatan di Purbalingga.
Example 468x60

Semarang — Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat terdakwa Setiyadi, mantan pejabat di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Purbalingga di gelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, pada Jumat (20/6/2025). Pada persidangan kali ini, Surono pengacara terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jembatan Merah, Situ Gintung itu menghadirkan dua orang ahli untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim.

Dua ahli tersebut adalah Bagus Oktafian Abriyanto SH., MH, ahli hukum administrasi dari Universitas Airlangga dan Dr. Bastianto Nugroho SH., M.Hum, ahli hukum pidana dari Universitas Merdeka Surabaya.

Example 300x600

Kehadiran kedua ahli ini dimaksudkan untuk memperkuat pembelaan terdakwa terkait tuduhan penyalahgunaan wewenang dalam proyek pembangunan Jembatan Merah Sungai Gintung, Kabupaten Purbalingga di instansi tempatnya bertugas.

Dalam keterangannya, Bagus Oktafian Abriyanto menjelaskan bahwa pejabat publik memiliki tanggung jawab jabatan, dimana hanya sebatas tugas dan tanggung jawab yang didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.

“Jadi, tanggung jawab jabatan ini adalah tanggung jawab yang melekat pada jabatan seseorang yang dia emban, sebatas tugas dan tanggung jawab dengan dasar perundang-undangan,” tutur ahli bagus.

Saat ditanya terkait Perpres pasal 12/54/2010 yang mengatur bahwa PPK harus memiliki kompetensi dan sertifikat dan pengalaman minimal selama dua tahun dalam pengadaan barang dan jasa, Bagus menegaskan harus memilikinya.

“Pasal tersebut ditindak lanjuti dengan pasal 5 peraturan LKPP (lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah) nomer 15 tahun 2018, wajib memiliki (kompetensi, sertifikat dan pengalaman minimal dua tahun),” tegasnya.

Lebih lanjut, Bagus mengungkapkan bahwa bila tidak memiliki sesuai peraturan maka pasti ada akibat hukumnya. Dia mengatakan PPK itu ditunjuk oleh pejabat lain yang lebih tinggi darinya. Maka dari itu tanggung jawab ada pada pejabat yang menunjuk PPK tersebut.

“Berdasarkan asas ‘Ius Contrarius actus’ itu yang menunjuk itu yang bertanggung jawab. Begini, jadi sepanjang dia ditunjuk oleh pejabat yang berwenang dan berdasarkan Pergub itu sah. Karena ada peraturan Bupatinya, ada dasar hukumnya. Ada dasar legalitas. Perbuatan pemerintah didasarkan pada pasal 8 ayat 2,” ungkapnya.

Sementara itu, Bastianto Nugroho membeberkan arti setiap unsur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU RI No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP.

“Dalam perkara pidana pembuktian alat bukti harus lebih terang dari cahaya. Dan alat bukti harus diperiksa secara formal dan formil. Karena harus ada persesuaian. Jangan suatu perkara itu nantinya menjadi asumtif ,” beber Bastianto.

Terkait unsur memperkaya diri sendiri, sambung Bastiono, kalau menerima sesuatu harus ada bentuk dan harus ada buktinya. Selain itu, tidak harus berupa bentuk benda atau bisa juga manfaat. “Kalau merugikan bentuknya apa ? Kerugian secara nyatanya apa ?. Umpama saya mendapat kesempatan, apakah kesempatan itu. Jadi manfaat itu bukan hanya uang, benda tapi juga manfaat,” katanya.

Selanjutnya ketika ditanya apa bila ada maladministrasi meski secara prosedural telah dilaksanakan apakah bisa dilakukan pemidanaan, Bastian mengatakan harus dibuktikan dulu apa perannya.

“Saya tidak bicara dalam hal administrasi, ketika di Pasal 51 KUHP yaitu apa yakni perintah jabatan. Di ayat 1 dan 2 itu berbunyi bahwa apabila ada perintah jabatan itu tidak bisa dipidana atau salah satu alasan pembenar. Namun tidak semudah itu, karena berbeda antara hukum pidana dan hukum administrasi,” ucap ahli yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Surabaya itu.

Bastianto kemudian menerangkan bahwa dalam konteks hukum, frasa “siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan” merujuk pada asas pembuktian dalam hukum acara perdata dan pidana yang dikenal sebagai actori incumbit onus probandi.

“Secara sederhana, asas ini berarti bahwa pihak yang mengajukan klaim atau dalil, baik itu penggugat dalam perkara perdata atau penuntut umum dalam perkara pidana, memiliki beban untuk membuktikan kebenaran dari klaim tersebut,” terangnya.

Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP, Bastianto berpendapat asas ini tetap berlaku. Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang mendakwa, memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi memiliki hak untuk membela diri.

“Terdapat beberapa pengecualian terhadap asas ini, misalnya dalam kasus pembuktian terbalik yang diterapkan pada tindak pidana tertentu seperti korupsi, dimana terdakwa memiliki beban untuk membuktikan asal usul kekayaannya,” tuturnya.

Sementara itu, Bastianto mengatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah keadaan ketika seseorang atau badan hukum dikenai sanksi pidana atas tindak pidana yang dilakukannya.

“Ini berarti bahwa pelaku tindak pidana harus menanggung akibat hukum dari perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) dan perbuatan pidana (actus reus),” ucapnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa Actus reus adalah perbuatan nyata yang dilakukan pelaku yang melanggar hukum pidana. Tidak ada pertanggungjawaban pidana jika tidak ada perbuatan yang nyata dan melawan hukum.

“Mens rea merujuk pada keadaan mental pelaku saat melakukan tindak pidana, seperti kesengajaan atau kealpaan. Pelaku harus memiliki niat jahat atau setidaknya menunjukkan kelalaian yang menyebabkan terjadinya tindak pidana,” jelasnya.

Menurutnya, terdapat alasan-alasan tertentu yang dapat membebaskan pelaku dari pertanggungjawaban pidana, seperti keadaan darurat, paksaan, atau kurangnya kemampuan bertanggung jawab karena gangguan jiwa. Alasan-alasan ini diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

“Pertanggungjawaban pidana berimplikasi pada pemberian sanksi pidana kepada pelaku, seperti pidana penjara atau denda,” pungkas Bastianto.

Terpisah, Bagus Sutedja, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah saat ditemui usai sidang mengatakan bahwa keterangan ahli cukup memuaskan. Saat ditanya terkait korelasi pertanggungjawaban pidana dan Pasal 51, dia mengatakan tidak ada. “Tidak ada korelasinya dalam perkara ini. Kami Penuntut umum puas dengan keterangan ahli,” ujar JPU Bagus.

Sedangkan Surono, pengacara terdakwa Setiyadi menegaskan bahwa dengan pendapat ahli administrasi negara dan ahli pidana tersebut menjadi terang benderang atas perkara yang sedang dialami kliennya itu.

“Bahwa sejak awal pemeriksaan saksi fakta tidak ada keterangan yang memberatkan klien kami baik dalam hal pelanggaran administrasi sebagai bentuk penyalah gunaan kewenangan dan tidak terdapat menstrea atas pelanggaran pasal 2 dan 3 UU Tipikor serta Jo. 55 sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum,” tegas Surono.

Dia menyatakan pihaknya memiliki keyakinan yang kuat bahwa pada pemeriksaan saksi mahkota dan pemeriksaan terdakwa nantinya juga tidak akan ada keterangan yang memberatkan kliennya.

“Sehingga sudah sepatutnya klien kami lepas dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan harapan kami agar Majelis Hakim dapat mengambil keputusan yang seadil-adilnya, sebagaimana adagium hukum fiat justitia ruat caelum (tegakkan kedilan meskipun langit runtuh), lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah,” kata Surono.

Berdasarkan fakta di persidangan, sambung Surono, kliennya tidak memiliki kemampuan teknik karena latar belakang pendidikannya adalah di bidang peternakan.

“Dan sesuai Perpres 54 2010 telah menunjuk PPTK berikut PPHP yang kompeten di bidangnya, dan seluruh laporan yang disajikan kepada PPK telah diperiksa dan dinyatakan valid,” tandasnya.

Sidang yang dipimpin hakim ketua Ibu Siti Insiroh itu akan dilanjutkan pekan depan, Selasa (24/6/25) dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

Untuk diketahui, kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jembatan Merah Sungai Gintung, Kabupaten Purbalingga terjadi pada 2017 dan 2018. Dimana menurut audit Inspektorat negara dirugikan sebesar lebih kurang Rp13 miliar.

Dalam perkara ini, Zaini adik ipar Ganjar Pranowo selaku pengawas dan dua mantan Kepala DPUPR Kabupaten Purbalingga, yakni Setiyadi dan Priyo Satmoko, didudukan menjadi terdakwa. (*)

Example 300250
Example 120x600