Jakarta – Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau berpotensi mengalami penurunan signifikan akibat maraknya fenomena downtrading atau peralihan konsumsi masyarakat ke rokok murah. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (7/5).
Menurut Askolani, tidak adanya kenaikan tarif cukai pada 2025 menjadi salah satu penyebab penurunan penerimaan cukai rokok. Selain itu, tren downtrading semakin meningkat seiring melemahnya daya beli masyarakat.
“Kenaikan tarif cukai kini tidak lagi berdampak langsung pada peningkatan penerimaan, justru sebaliknya. Saat tarif dinaikkan, produksi rokok cenderung menurun,” ungkap Askolani.
Data Ditjen Bea dan Cukai menunjukkan bahwa penerimaan cukai hasil tembakau pada kuartal I 2025 hanya tumbuh 5,6% secara tahunan. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh pergeseran pelunasan cukai menjelang Lebaran sebesar Rp 4,6 triliun, sementara produksi rokok turun 4,2% secara tahunan.
Produksi rokok golongan satu mengalami penurunan hingga 10,9%, sedangkan produksi rokok golongan dua dan tiga masing-masing naik sebesar 1,3% dan 7,4%. Askolani menambahkan, kebijakan tarif cukai kini mulai elastis. Dampaknya tidak lagi linier terhadap penerimaan negara.
“Pada 2022, penerimaan cukai tembakau mencapai Rp 218 triliun. Namun, dalam dua tahun terakhir, penerimaannya cenderung turun, yakni Rp 213 triliun pada 2023 dan Rp 216 triliun pada 2024,” jelas Askolani.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah harus segera mencari solusi agar penerimaan negara dari cukai rokok tidak terus tergerus akibat pergeseran konsumsi masyarakat ke rokok murah.