I-todays.com – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan posisinya sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak asasi warga negara. Dalam putusan terbarunya, MK menyampaikan pesan tegas dan jelas: “Kritik terhadap badan publik, termasuk lembaga negara, bukanlah suatu tindak pidana dan tidak boleh dikriminalisasi.” Pernyataan itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Putusan ini tentu saja disambut positif oleh banyak kalangan, mulai dari pegiat HAM, jurnalis, akademisi, hingga masyarakat umum. Sebab selama ini, tak sedikit warga yang merasa takut untuk menyampaikan kritik terhadap lembaga negara karena khawatir dilaporkan atau bahkan dipidana. Kini, dengan adanya kepastian hukum dari MK, ruang publik kembali mendapatkan napas segar untuk diskusi, evaluasi, dan penyampaian aspirasi yang konstruktif.
Semangat Putusan MK Harus Tercermin dalam Praktik Hukum
Namun, euforia ini tidak boleh membuat kita lengah. Tantangan sesungguhnya justru dimulai setelah putusan ini keluar. Yaitu memastikan agar semangat kebebasan berpendapat benar-benar diterapkan dalam praktik hukum dan kehidupan demokrasi sehari-hari.
Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, harus memahami betul batasan antara kritik yang sah dan penghinaan yang bisa masuk ranah pidana. Demikian pula para pejabat publik dan lembaga negara, mereka perlu semakin terbuka terhadap kritik dan tidak buru-buru mengambil jalur hukum hanya karena merasa tersinggung.
Kritik Itu Perlu, Tapi Sampaikan dengan Bijak
Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilik hak kebebasan berekspresi juga harus bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapat. Kritik dan hinaan adalah dua hal yang sangat berbeda. Kritik bertujuan membangun, memberikan masukan, atau menunjukkan kesalahan dengan niat memperbaiki. Sedangkan hinaan cenderung menyerang pribadi, menggunakan kata-kata kasar, bahkan bisa menyulut kebencian.
Jadi, meskipun sekarang kita memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat untuk mengkritik, bukan berarti semua ucapan bebas dari konsekuensi. Kebebasan berpendapat bukan kebebasan tanpa batas. Ia tetap harus dijalankan dengan etika, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama warga negara.
Demokrasi Sehat Butuh Warga yang Kritis dan Cerdas
Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh jika warga negaranya aktif, kritis, dan berani menyuarakan pendapat. Tapi demokrasi juga butuh kedewasaan, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. MK sudah memberi payung hukum untuk melindungi kebebasan kita. Sekarang giliran kita untuk menggunakannya secara bijak.
Mari jadikan kritik sebagai alat untuk membangun, bukan melukai. Sampaikan dengan sopan, berdasar data, dan dengan niat memperbaiki. Karena hanya dengan begitu, kita bisa menjadi bagian dari masyarakat yang sehat secara demokratis — dan tetap manusiawi dalam bermasyarakat.