Jakarta – Harga emas yang terus melonjak dalam beberapa pekan terakhir menciptakan gelombang pembelian masif di berbagai daerah. Toko emas dipenuhi antrean, platform digital mencatat lonjakan transaksi, dan media sosial penuh unggahan emas batangan dan perhiasan. Emas seolah menjadi jawaban atas kecemasan ekonomi yang membayangi.
Namun, di balik kilau emas, terselip pertanyaan penting: apakah publik membeli emas karena strategi keuangan yang matang, atau justru karena ketakutan dan efek ikut-ikutan yang kuat?
Emas Sebagai Cermin Kecemasan Kolektif
Fenomena ini tampak sebagai respons alami atas ketidakpastian global: inflasi, gejolak geopolitik, dan nilai tukar rupiah yang berfluktuasi. Dalam situasi seperti itu, emas kerap dianggap sebagai “tempat berlindung” yang aman.
Namun psikolog keuangan mengingatkan bahwa banyak keputusan investasi justru tidak lahir dari pertimbangan rasional, melainkan dari dorongan emosional. FOMO (Fear of Missing Out) dan panic buying menjadi dua pemicu utama yang terlihat dalam gelombang pembelian emas saat ini.
“Saat tetangga beli, kita ikut beli. Saat media memberitakan harga naik, kita buru-buru beli tanpa menghitung kembali,” ujar Mira Larasati, perencana keuangan bersertifikasi. “Ini bukan strategi investasi, ini reaksi sosial.”
Strategi atau Spekulasi?
Bagi sebagian orang, membeli emas saat harga tinggi dianggap langkah antisipatif: lebih baik beli sekarang daripada ketinggalan. Namun, apakah keputusan itu didasarkan pada tujuan keuangan jangka panjang?
Jika emas dibeli untuk disimpan sebagai aset jangka panjang, maka lonjakan harga saat ini mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tapi jika harapannya adalah keuntungan cepat, risikonya cukup besar, apalagi jika harga mengalami koreksi dalam waktu dekat.
“Emas bukan instrumen spekulatif,” kata Mira. “Ia idealnya digunakan untuk menjaga nilai kekayaan, bukan untuk trading harian.”
Berinvestasi dengan Tujuan, Bukan Emosi
Dalam dunia investasi, waktu masuk dan keluar pasar adalah kunci. Namun, yang tak kalah penting adalah pemahaman terhadap fungsi dari aset itu sendiri. Emas bukanlah satu-satunya alat lindung nilai, dan bukan pula satu-satunya pilihan investasi yang aman.
Para ahli menyarankan agar masyarakat tidak meletakkan semua dana pada satu jenis aset saja. Diversifikasi ke dalam saham, obligasi, atau deposito tetap diperlukan, tergantung pada profil risiko dan tujuan keuangan masing-masing.
“Kalau semuanya taruh di emas karena panik, itu bukan lindung nilai—itu menumpuk risiko lain,” ujar Mira.
Edukasi Jadi Kunci
Lonjakan pembelian emas saat ini juga menjadi sinyal bagi media dan lembaga keuangan untuk lebih aktif dalam memberikan edukasi. Narasi yang membakar euforia perlu diganti dengan informasi yang membangun kesadaran dan pemahaman.
Kampanye literasi keuangan harus terus digaungkan, agar masyarakat tidak hanya tahu cara membeli emas, tetapi juga memahami kapan, bagaimana, dan untuk tujuan apa investasi itu dilakukan.
Akhir Kata: Tetap Tenang di Tengah Ketidakpastian
Membeli emas bukanlah keputusan keliru—selama dilakukan dengan pemahaman yang utuh. Namun jika semata-mata didasari rasa takut atau ingin “ikut-ikutan tren,” maka potensi kerugian jangka pendek bisa menanti.
Ingat, tujuan utama dari investasi adalah mencapai kebebasan finansial, bukan sekadar mengikuti arus. Emas bisa menjadi bagian dari perjalanan itu, asalkan Anda tetap menjadi nakhoda yang tenang dan sadar arah tujuan.