Jakarta – Seorang mahasiswa asal Indonesia, Aditya Harsono, ditangkap oleh petugas Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE) di Minnesota usai visanya dicabut secara mendadak. Penangkapan tersebut menimbulkan keprihatinan karena dinilai bermuatan politik, menyusul keterlibatan Aditya dalam demonstrasi Black Lives Matter (BLM) pada tahun 2022.
Aditya, 33 tahun, ditahan ICE pada 27 Maret 2025 di ruang bawah tanah rumah sakit tempat ia bekerja sebagai manajer rantai pasokan. Ia sebelumnya tercatat sebagai mahasiswa di Southwest Minnesota State University dan telah tinggal secara legal di AS hingga visanya dicabut pada 23 Maret.
Pengacara keluarga, Sarah Gad, menyatakan bahwa penangkapan Aditya berlangsung dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. “Rumah sakit diminta mengatur pertemuan khusus di ruang bawah tanah hanya untuk memfasilitasi penangkapannya,” ujar Gad, seperti dilansir Newsweek, Senin (14/4).
Aditya diketahui terlibat dalam aksi unjuk rasa BLM pasca kematian George Floyd. Ia sempat didakwa karena berkumpul secara ilegal dan membuat grafiti, namun seluruh dakwaan tersebut telah dibatalkan demi kepentingan keadilan.
Keluarganya meyakini bahwa aktivitas politik di masa lalu, serta dukungan vokal Aditya terhadap isu Palestina, menjadi faktor yang memicu pencabutan visanya. “Ini bukan hanya soal dokumen imigrasi, ini soal perlakuan tidak adil terhadap seseorang yang bersuara,” kata istrinya, Peyton Harsono.
Meski seorang hakim imigrasi telah mengabulkan pembebasannya, Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) mengajukan banding, sehingga proses hukum terus berlanjut. Sementara itu, Aditya masih ditahan di Penjara Daerah Kandiyohi.
Penahanan ini berdampak besar bagi keluarga kecil Aditya. Peyton kini harus membesarkan putri mereka yang masih berusia 8 bulan sendirian, sambil tetap bekerja penuh waktu. “Ini sangat melelahkan secara emosional dan finansial. Suami saya bahkan melewatkan Idulfitri pertamanya bersama anak kami,” tuturnya pilu.
Menurut pengacara keluarga, Aditya sebenarnya masih memiliki status hukum sah karena permohonan penyesuaian status imigrasi (formulir I-130 dan I-485) tengah diproses. Formulir tersebut menunjukkan bahwa Aditya tengah mengajukan status sebagai penduduk tetap berdasarkan hubungan keluarga.
ICE, dalam sebuah surat yang ditinjau oleh Newsweek, menyatakan pencabutan visa Aditya dilakukan diam-diam atas alasan “ancaman terhadap keselamatan publik.” Namun, keluarga menilai tuduhan tersebut tidak berdasar dan hanya upaya untuk mendelegitimasikan status hukum Aditya.
Aditya menjadi mahasiswa ketiga dari SMSU yang mengalami pencabutan visa dalam beberapa bulan terakhir. Kejadian ini memicu kekhawatiran akan meningkatnya tindakan represif terhadap imigran internasional di tengah kebijakan keras yang diterapkan pemerintah.