Surabaya – Janji manis bisa bekerja di tiga negara kawasan Eropa berujung mimpi buruk bagi 17 warga negara asing (WNA) asal Nepal. Mereka kini terlantar di dua rumah penampungan di Surabaya, setelah membayar antara USD 1.500 hingga USD 2.500 untuk “visa kerja” yang ternyata cuma visa wisata. Kasus ini menyeret tiga terdakwa dalam komplotan penyelundupan manusia lintas negara: Bakhat Bahadur B K, Satyam Kumar, dan Lia Taniati, yang kini duduk di kursi pesakitan di PN Surabaya.
Sidang perdana yang digelar offline di ruang Sari 3 PN Surabaya, Senin (30/6), mengungkap skema jahat sindikat ini. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Siska Christina dari Kejari Surabaya, para terdakwa disebut sengaja menjanjikan para korban bisa bekerja di negara Ceko, Lithuania, dan Hungaria, padahal tidak ada dokumen kerja yang sah. Semua korban hanya dibekali paspor dan hasil cek kesehatan. Tak ada satu pun kontrak kerja atau jaminan dari perusahaan manapun di Eropa.
“Para terdakwa terbukti melakukan percobaan tindak pidana penyelundupan manusia dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi, secara terorganisir, melanggar Pasal 120 Ayat (2) UU Keimigrasian,” kata JPU Siska dalam pembacaan dakwaan.
Fakta lain yang mencengangkan, beberapa korban bahkan tidak memiliki paspor saat diamankan, karena paspornya ditahan oleh Bakhat Bahadur. Mereka hanya dijanjikan akan diproses visanya untuk bisa bekerja di Eropa, namun selama berbulan-bulan hanya dibiarkan terlunta-lunta di rumah penampungan Jalan Kendangsari I Blok G/33 dan rumah kos Jalan Siwalankerto VIII Blok E12.
Petugas Imigrasi Kelas I Khusus TPI Surabaya, Abduhafidz Ramadhana dan M. Ridho Bahar Harahap, mengungkapkan bahwa penggerebekan dilakukan setelah laporan warga pada Desember 2024. Di rumah tersebut ditemukan enam WNA Nepal, sebagian tanpa paspor. Saat diinterogasi, mereka mengaku paspornya dibawa Bakhat Bahadur dan bahwa mereka tengah menunggu visa kerja untuk kawasan Eropa.
Investigasi berlanjut. Ternyata, lima WNA Nepal lain ditemukan di rumah kos Siwalankerto, empat di Bali, dan dua lainnya di Jakarta. Total 17 orang telah jadi korban sindikat ini. Mereka direkrut sejak di Nepal oleh Lekhnath Prasai, kolega Bakhat Bahadur. Pembayaran dilakukan tunai maupun transfer ke rekening atas nama Bakhat, Lekhnath, maupun perusahaan fiktif Prasain Brothers & Son.
Selama di Indonesia, kebutuhan harian para WNA ini ditanggung oleh para terdakwa. Namun visa yang mereka pegang adalah visa wisata, bukan visa kerja. Bahkan, dua perusahaan yang dijadikan sponsor dalam pengurusan visa, yakni PT Cipta Intertrans dan PT Harsa Aksa Amerta, tidak memiliki aktivitas usaha nyata.
“Ini jelas pelanggaran. Para korban tidak memiliki kontrak kerja, tidak tahu perusahaan yang akan dituju, dan hanya dijanjikan gaji 1.000–1.500 Euro. Semua dokumen hanya formalitas,” tambah JPU.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Sugianto, menyatakan akan mengajukan eksepsi. “Kami ajukan keberatan atas dakwaan JPU,” ucapnya singkat usai sidang.
Kini, ketiganya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Mereka didakwa melanggar Pasal 120 ayat (2) UU No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian juncto Pasal 55 KUHP tentang penyertaan.