Semarang — Alih-alih menjadi motor penggerak kawasan industri di Jawa Tengah, Pelabuhan Kendal kini justru menjadi simbol mangkraknya proyek infrastruktur. Dibangun dengan anggaran fantastis mencapai Rp567 miliar, pelabuhan yang diresmikan pada 2016 itu kini sepi aktivitas dan hanya ramai oleh para pemancing.
Sejak Oktober 2024, aktivitas pelabuhan menurun drastis akibat pendangkalan yang disebabkan sedimentasi. Kondisi ini mengakibatkan kapal-kapal enggan bersandar, dan fungsi pelabuhan tak berjalan sebagaimana rencana awal.
Menanggapi hal ini, Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen menyatakan solusi yang ditawarkan pemerintah provinsi adalah menghubungkan Pelabuhan Kendal dengan pelabuhan di Semarang.
“Pelabuhan Kendal yang mangkrak itu, tinggal kita koneksikan dengan pelabuhan Semarang. Itu saja sebenarnya,” ujar Yasin, usai menghadiri FGD RPJMD Jateng 2025-2029 di Kantor DPD RI, Rabu (23/4/2025).
Namun, ia tidak menjawab saat ditanya mengenai solusi konkret atas sedimentasi yang menyebabkan kapal tak bisa berlabuh. Tidak ada rencana pengerukan atau revitalisasi yang diumumkan.
Fokus Dialihkan ke Pelabuhan Sluke
Di tengah mandeknya Pelabuhan Kendal, Pemprov Jateng justru melirik Pelabuhan Sluke di Rembang untuk dikembangkan menjadi penghubung antarpulau. Meski bukan diperuntukkan ekspor-impor, pelabuhan ini diharapkan memperkuat konektivitas antar wilayah Jawa Tengah dan luar pulau.
Masalah Pembangunan di Jawa Tengah
Anggota DPD RI dari Jawa Tengah, Abdul Kholik, mengungkap sederet persoalan yang selama ini menghambat laju pembangunan di provinsi ini. Mulai dari kemiskinan tinggi (3,79 juta jiwa), minimnya konektivitas, hingga tekanan ekologis yang makin besar.
Ia menyebut bahwa pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan harus diselaraskan dengan penguatan sektor strategis: pertanian, kelautan, dan pariwisata.
“Pelabuhan-pelabuhan masih banyak yang belum selesai. Kita perlu visi pembangunan yang berani, termasuk investasi daerah yang mendorong hidupnya ekonomi lokal,” ujar Kholik.
Kondisi Pelabuhan Kendal menjadi potret buram tata kelola infrastruktur daerah: mahal dibangun, minim pemanfaatan. Dengan belum adanya solusi nyata terhadap pendangkalan, proyek ini berisiko menjadi monumen gagalnya perencanaan yang tak berpijak pada realitas teknis dan geografis.