Yogyakarta — Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali memicu perdebatan publik. Meski dinilai memenuhi syarat formal, sejumlah pihak mengingatkan agar penetapan gelar tersebut tidak mengabaikan catatan sejarah, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Suwignyo, menyatakan bahwa Soeharto secara normatif memenuhi kriteria yang diatur dalam peraturan pengusulan gelar pahlawan nasional. Namun, menurutnya, sejarah tidak bisa dipisahkan dari aspek moral dan kontroversi di masa lalu.
“Kalau melihat kriteria dan persyaratan sebagai pahlawan nasional, Soeharto memang memenuhi. Tapi kita tidak bisa mengabaikan kontroversinya di tahun 1965 dan setelahnya,” ujar Agus, dikutip dari laman resmi UGM, Kamis, 17 April 2025.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, Soeharto tercatat memegang peran strategis, antara lain sebagai komandan Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Panglima Komando Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat. Namun, rekam jejak selama lebih dari tiga dekade kekuasaan di era Orde Baru dinilai meninggalkan luka mendalam, terutama terkait represi politik, pembungkaman pers, serta pelanggaran HAM berat.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan bahwa kementeriannya tetap akan memproses usulan gelar tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. “Kalau memang tidak ada yang dilanggar, kami harus memproses usulan itu dan menaikkannya ke Dewan Gelar,” ujar Gus Ipul kepada Tempo, Rabu, 16 April 2025.
Namun di luar prosedur administratif, perdebatan soal moralitas dan sejarah masih mengemuka. Agus menyarankan agar ke depan gelar kepahlawanan diberikan secara lebih kontekstual, misalnya berdasarkan bidang kontribusi atau periode waktu tertentu.
“Sejarah tidak bisa dilihat secara hitam putih. Bisa saja seseorang berjasa dalam satu masa, tapi punya catatan buruk di masa lain. Maka dari itu, pendekatan kategorisasi bisa jadi solusi agar tidak ada pengaburan sejarah,” kata Agus.
Isu ini juga memicu gerakan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Koalisi yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) membuka petisi daring yang menolak pemberian gelar tersebut. Hingga 21 April 2025, petisi tersebut telah ditandatangani oleh hampir 4.000 orang.
Zaenal Muttaqien dari Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menegaskan bahwa pengusulan gelar pahlawan untuk Soeharto adalah bentuk “pemutihan sejarah”. “Kami menilai usulan itu berbahaya karena bisa menghapus ingatan kolektif bangsa terhadap pelanggaran HAM masa lalu,” ujar Zaenal.
Senada, Jane Rosalina dari KontraS menyebut bahwa pengusulan gelar ini semakin menguat setelah MPR mencabut penyebutan nama Soeharto dalam TAP MPR Nomor 9 Tahun 1998 yang sebelumnya menyinggung perannya dalam praktik KKN.
“Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR itu menjadi celah baru untuk membangun kembali narasi positif, yang sayangnya mengabaikan korban dan sejarah kelam,” kata Jane.
Perdebatan ini memperlihatkan bahwa gelar pahlawan bukan hanya soal jasa di masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini merekonstruksi masa lalu untuk masa depan. Dalam konteks itulah, catatan sejarah, termasuk luka dan ingatan publik, tidak bisa dikesampingkan.