Pangkalpinang — Proses sidang kasus penyalahgunaan BBM subsidi yang melibatkan Andi Octavian Dewindra, anak Ketua DPW PKB Bangka Belitung, Muhammad Tanwin, menuai sorotan publik. Pasalnya, perjalanan sidang dari dakwaan hingga pembacaan tuntutan hanya berlangsung sembilan hari.
Andi, yang menjabat sebagai Manajer SPBUN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan) 2811501 di PPI Ketapang Pangkalpinang, didakwa menjual 5 ton solar bersubsidi untuk nelayan kepada penambang timah ilegal di Koba, Bangka Tengah.
Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Pangkalpinang itu sempat menimbulkan kecurigaan publik lantaran digelar secara daring, melibatkan pergantian jaksa, dan ditutup dengan tuntutan yang dinilai ringan: enam bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider dua bulan kurungan.
Dituding ‘Kilatan Hukum’, PN Pangkalpinang Membantah
Menanggapi tudingan bahwa persidangan berjalan kilat dan janggal, Humas PN Pangkalpinang, Ansory Hironi, menyatakan bahwa semua tahapan berlangsung sesuai prosedur.
“Sidang ini cepat atau lambat tergantung pada kesiapan JPU. Tidak ada yang dipercepat atau diperlambat secara sengaja,” ujar Ansory, Rabu (23/4/2025).
Ia menjelaskan, perkara ini terdaftar sejak 17 Maret 2025 dan baru bisa disidangkan pada 14 April karena libur panjang. Agenda pemeriksaan saksi langsung dilakukan pada 17 April, dan pembacaan tuntutan digelar pada 23 April.
Sidang Online dan Jaksa Berganti, Ada Apa?
Keputusan menggelar sidang secara daring pun menuai pertanyaan. Ansory menyebut hal itu terkait efisiensi anggaran sesuai Peraturan MA Nomor 7 Tahun 2022. Bahkan disebutkan bahwa pemotongan anggaran juga berdampak pada hak makan siang bagi terdakwa yang kini ditiadakan.
Pergantian jaksa dari David dan Rizal ke Novi Andari pun disebut bukan masalah besar, karena dua jaksa sebelumnya telah dimutasi ke Palembang.
“Semua sesuai aturan. Tidak ada perbedaan perlakuan,” kata Ansory.
Ancaman Berat, Tuntutan Ringan
Padahal, Andi Octavian Dewindra dijerat Undang-Undang Migas dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan denda hingga Rp60 miliar. Namun, tuntutan yang dibacakan jaksa hanya enam bulan penjara dan denda Rp10 juta.
Sidang putusan dijadwalkan pada 30 April 2025, dipimpin oleh hakim ketua Dwinata Estu Dharma bersama dua hakim anggota.
Publik kini menunggu apakah putusan nanti akan mencerminkan keadilan substantif atau justru memperkuat dugaan bahwa proses hukum ini penuh keistimewaan.