Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Headline

Soesalit Djojoadhiningrat: Jejak Sunyi Putra Kartini yang Terlupakan

×

Soesalit Djojoadhiningrat: Jejak Sunyi Putra Kartini yang Terlupakan

Sebarkan artikel ini
ANAK KARTINI
Example 468x60

Jakarta – Tiap 21 April, bangsa Indonesia mengenang semangat dan perjuangan RA Kartini, pelopor emansipasi perempuan. Namanya harum, tulisannya abadi, dan semangatnya hidup dalam setiap perayaan Hari Kartini. Namun, di balik sosok perempuan hebat ini, ada satu nama yang nyaris hilang dari ingatan sejarah: Soesalit Djojoadhiningrat, anak tunggal Kartini yang hidupnya penuh getir, dilema, dan tragis.

Soesalit bukan hanya sekadar “putra Kartini”. Ia adalah potret sunyi dari sebuah perjuangan yang nyaris tak pernah dibicarakan.

Example 300x600

Lahir Tanpa Ibu, Tumbuh Dalam Sunyi

Soesalit lahir pada 13 September 1904, namun kebahagiaan kelahirannya seketika berubah jadi duka. Hanya empat hari setelah melahirkannya, Kartini meninggal dunia. Ia tumbuh sebagai anak piatu sejak lahir, dan di usia delapan tahun, ia kehilangan ayahnya, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat. Yatim piatu sejak dini, Soesalit dibesarkan oleh neneknya Ngasirah, dan kakak tirinya, Abdulkarnen Djojoadhiningrat—yang kelak menjadi sosok pengganti orang tua baginya.

Meski tanpa kehangatan kedua orang tua, Soesalit mendapat pendidikan terbaik. Seperti ibunya, ia menempuh pendidikan di sekolah elite Eropa: ELS, HBS, dan sempat kuliah hukum di RHS Batavia. Namun ia tak melanjutkannya, memilih jalur hidup yang lebih praktis: menjadi pamong praja.

Dilema Seorang Anak Bangsa di Tengah Penjajahan

Kariernya sebagai pegawai pemerintahan kolonial Hindia Belanda membawanya ke instansi sensitif: Politieke Inlichtingen Dienst (PID)—badan intelijen Belanda. Di sanalah dilema mulai tumbuh. Di satu sisi, ia bekerja untuk pemerintahan penjajah. Di sisi lain, ia anak Kartini—simbol perjuangan dan nasionalisme.

Ketika Jepang masuk, Soesalit meninggalkan PID dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air). Setelah Indonesia merdeka, ia aktif dalam militer dan sempat memimpin Divisi III Diponegoro. Ia ikut bergerilya melawan Belanda di Gunung Sumbing pada masa Agresi Militer II.

Namun karier militernya tak mulus. Pangkatnya sempat mencapai Mayor Jenderal, namun kemudian diturunkan. Puncaknya terjadi saat namanya terseret dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948—peristiwa yang merenggut banyak nyawa dan menimbulkan trauma nasional.

Soesalit tak pernah terbukti terlibat, namun ia dikenai tahanan rumah. Presiden Soekarno kemudian membebaskannya, namun sejak saat itu, jalan hidup Soesalit menjauh dari panggung utama sejarah.

Akhir Hidup yang Sunyi

Setelah peristiwa Madiun, Soesalit dipindahkan ke Kementerian Pertahanan. Ia sempat menjadi Kepala Penerbangan Sipil dan Penasihat Menteri Pertahanan. Namun kehidupan publiknya tak lagi semarak. Ia wafat pada 17 Maret 1979 di Rumah Sakit Angkatan Perang.

Tak banyak upacara, tak banyak pelayat, dan hingga kini, tak banyak yang tahu kisahnya.

Kartini Diingat, Soesalit Dilupakan

Kisah Soesalit Djojoadhiningrat adalah pengingat bahwa sejarah tak hanya berisi pahlawan yang dielu-elukan. Di dalamnya ada mereka yang tertinggal, terlupakan, dan terpinggirkan. Ia bukan simbol perjuangan emansipasi seperti ibunya, tapi ia adalah saksi hidup atas berbagai babak sejarah negeri ini: penjajahan, revolusi, konflik ideologi, hingga pembentukan republik.

Mungkin kini saatnya kita tak hanya mengingat Kartini sebagai ikon, tetapi juga menoleh pada warisan hidup yang ia tinggalkan—seorang anak yang hidup dalam bayang-bayang ibunya, berjalan sendiri dalam sejarah yang tak pernah ramah.

Example 300250
Example 120x600