Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
HeadlineHukrim

Teori-teori Pembuktian Dalam Perkara Pidana Menurut Ahli Pidana Bastianto Nugroho

×

Teori-teori Pembuktian Dalam Perkara Pidana Menurut Ahli Pidana Bastianto Nugroho

Share this article
Screenshot 2025 07 16 14 06 09 569 com.google.android.apps .docs edit
Ahli Hukum Pidana Bastianto Nugroho menjelaskan teori pembuktian dalam suatu perkara pidana.
Example 468x60

Surabaya – Dalam teori pembuktian suatu perkara pidana itu dibagi menjadi tujuh kategori. Dan dari seluruh kategori tersebut dibagi kembali menjadi tiga berdasarkan hirarki.

Bastianto Nugroho SH., M. Hum, ahli hukum pidana asal Surabaya menjelaskan bahwa pembagian kategori berdasarkan hirarki tersebut adalah Primary (primer) Evidence, Secondary (sekunder) Evidence dan Tertiary (tersier) Evidence.

Example 300x600

“Kategori Primary Evidence terdiri dari Direct Evidence, Indirect Evidence dan Subtitute Evidence,” jelas Bastianto Nugroho.

Lebih lanjut, pria yang juga menjabat sebagai Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Merdeka itu memaparkan Direct evidence atau bukti langsung adalah bukti secara langsung mengenai suatu fakta.

“Biasanya bukti ini diperoleh dari kesaksian seseorang yang melihat langsung fakta tersebut,” paparnya.

Kemudian, sambung Bastianto, Indirect Evidence atau biasa disebut Circumtantial evidence adalah bukti tidak langsung. Menurutnya itu adalah bukti yang secara tidak langsung menunjuk suatu fakta, namun bukti tersebut dapat merujuk pada kejadian yang sebenarnya.

“Tidak ada perbedaan antara direct evidence dan circumstantial evidence. Keduanya dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu,” katanya.

Sedangkan Substitute evidence, Bastianto menyampaikan bahwa itu merupakan bukti yang tidak perlu dibuktikan secara langsung ataupun tidak langsung.

“Karena menyangkut hal yang sudah menjadi pengetahuan umum atau pengetahuan hukum,” ucapnya.

Selanjutnya terkait Secondary Evidence. Menurut Bastiono, kategori tersebut terdiri dari Testimonial evidence atau bukti kesaksian dan Real Evidence.

Bukti kesaksian ini dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) kesaksian atas fakta yang sesungguhnya (factual testimony); (b) pendapat atas kesaksian (opinion testimony); dan (c) pendapat ahli (expert opinion).

“Jadi, Factual testimony biasanya menyangkut kesaksian secara terbatas mengenai fakta-fakta yang relevan atas apa yang dilihat, didengar, atau dialami dan dia bersumpah atas kesaksiannya itu bahwa dia benar-benar mengetahui kejadian tersebut,” katanya.

Pada opinion testimony, kata Bastianto, saksi boleh memberikan pendapat mengenai kesaksiannya itu sendiri jika saksi adalah seorang ahli atau paham akan hal itu dan pengadilan merasa saksi dibutuhkan agar hakim memahami perihal fakta tersebut.

“Opinion atau pendapat yang diminta dari seorang ahli pidana itu adalah pendapat atas teori-teori sesuai keilmuan yang dimiliki oleh ahli tersebut,” ujarnya.

Sedangkan Real evidence, Bastianto menyebutkan hal itu berkaitan dengan objek fisik dari sesuatu yang berkaitan dengan kejahatan.

“Dalam beberapa literatur real evidence diartikan sama dengan physical evidence yang dalam konteks hukum pidana di Indonesia disebut dengan istilah ‘barang bukti”,” katanya.

Sementara itu untuk kategori ketiga, Tertiary Evidence, Bastianto menjelaskan ada dua teori yaitu Demonstrative evidence dan Documentary Evidence.

“Demonstrative Evidence yaitu bukti yang digunakan untuk menjelaskan fakta-fakta di depan pengadilan oleh penyidik. Dalam menjelaskannya polisi menggunakan bagan yang diperoleh melalui rekonstruksi atau reka ulang atas suatu fakta. Jadi masuk kualifikasi sebagai demonstrative evidence,” jelasnya.

Dan terkart Documentary evidence, masih kata Bastiono, itu merupakan bukti yang meliputi tulisan tangan, surat, fotografi, transkrip rekaman dan alat bukti tertulis lainnya.

“Meskipun alat bukti dapat beraneka ragam bentuk, secara garis besar terdapat alat bukti yang berlaku universal untuk semua persidangan. Paling tidak ada empat alat bukti, yaitu şaksi, ahli, dokumen, dan real evidence atau physical evidence. Dalam konteks hukum Indonesia, alat bukti surat dimasukkan ke dalam dokumen, sedangkan real evidence atau physical evidence yang biasanya kita sebut sebagai barang bukti,” tandasnya. (*)

Example 300250
Example 120x600
error: Nice Try :)