TEL Aviv – Hubungan yang selama ini tampak hangat antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump kini mulai menunjukkan keretakan. Dalam pembicaraan tertutup, Netanyahu mengungkapkan rasa frustrasinya atas kebijakan Timur Tengah yang diambil oleh Trump, terutama terkait Iran dan Suriah.
Media Israel Israel Hayom melaporkan bahwa meskipun Trump kerap menyampaikan dukungan verbal dalam pertemuan dan panggilan telepon, tindakan nyata yang diambil justru bertolak belakang. Alih-alih bersikap agresif terhadap Iran, pemerintahan Trump justru membuka jalur negosiasi dan memberikan sejumlah konsesi terkait program nuklir Iran untuk tujuan energi domestik.
Tak hanya itu, Netanyahu juga resah dengan dukungan Trump terhadap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, khususnya dalam memperkuat pengaruhnya di wilayah Suriah. Di sisi lain, Israel memang diberikan lampu hijau untuk bertindak di Suriah, namun langkah Amerika dinilai kontradiktif.
Kekecewaan Netanyahu semakin memuncak ketika Trump memecat Penasihat Keamanan Nasional Michael Waltz, sosok yang dikenal berhaluan keras terhadap Iran dan memiliki komunikasi intensif dengan Israel. Posisi Waltz digantikan sementara oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio, yang kini merangkap empat jabatan sekaligus.
Pemecatan Waltz disebut-sebut karena kedekatannya dengan Netanyahu dan upayanya memengaruhi kebijakan militer AS terhadap Iran. Ironisnya, Trump justru menunjuk Waltz sebagai calon Duta Besar AS untuk PBB, posisi yang memerlukan persetujuan Senat.
Waltz sendiri merupakan mantan kolonel Green Beret dan veteran perang Afghanistan yang dikenal vokal dalam isu-isu pertahanan. Pengalamannya sebagai prajurit dan politisi membuatnya kerap berada di barisan depan dalam isu keamanan nasional dan kebijakan luar negeri.
Netanyahu kini menghadapi dilema diplomatik. Di tengah ancaman militer dari Houthi Yaman yang didukung Iran, harapan akan dukungan militer langsung dari AS tampaknya makin menjauh. Meskipun relasi pribadi dengan Trump masih tampak solid, dinamika kebijakan Washington membuat Tel Aviv harus bersiap dengan kemungkinan bergerak sendiri di kawasan konflik.