Bandung – Dunia kedokteran Indonesia diguncang oleh kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, Priguna Anugrah Pratama. Tersangka dituding telah memanfaatkan posisinya dan obat bius untuk melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah korban di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, memicu kekhawatiran luas di masyarakat.
Polda Jawa Barat menyebut Priguna telah memperkosa tiga korban dalam rentang waktu berdekatan pada Maret 2025. Tindakan keji tersebut dilakukan saat para korban dalam kondisi tidak sadar setelah disuntik midazolam, obat penenang yang biasa digunakan dalam prosedur medis. Polisi juga mengindikasikan bahwa pelaku memiliki kelainan perilaku seksual yang melibatkan fantasi terhadap korban yang tak berdaya.
Salah satu korban, FA, disebut mengalami peristiwa memilukan ini saat tengah menjaga ayahnya yang dirawat di RSHS. Dengan dalih pemeriksaan golongan darah, pelaku membawa korban ke ruang terisolasi, menyuntikkan midazolam, dan melakukan pemerkosaan.
Tak hanya mengundang keprihatinan, kasus ini turut membuka kembali luka lama bagi sejumlah penyintas pelecehan seksual di ranah medis. Rina (nama disamarkan), salah satu penyintas, mengaku mengalami kecemasan luar biasa setelah membaca pemberitaan tersebut.
“Berita itu memicu trauma lama saya. Saya pernah dibius total saat pengobatan dan jadi bertanya-tanya, apakah saya juga pernah menjadi korban?” ujarnya.
Rina mengaku pernah dua kali menjadi korban pelecehan oleh dokter laki-laki—pertama saat konsultasi mental health dan kedua saat menjalani perawatan TB di rumah sakit. Kedua kejadian itu meninggalkan bekas trauma mendalam, bahkan membuatnya menghindari dokter pria dalam setiap pemeriksaan kesehatan.
Krisis Kepercayaan dan Ketimpangan Relasi Kuasa
Pengamat kesehatan menyoroti bahwa kasus ini memperlihatkan rapuhnya pengawasan terhadap tenaga medis serta ketimpangan relasi kuasa antara dokter dan pasien. Ketua IAKMI, Dedi Supratman, menyebut peristiwa ini mencederai kepercayaan publik terhadap profesi yang seharusnya melindungi.
Senada, pendiri CISDI, Diah Saminarsih, menilai lemahnya seleksi dan pengawasan dalam pendidikan kedokteran turut berkontribusi. Ia juga menyoroti fenomena “gunung es” dalam kasus pelecehan seksual oleh tenaga kesehatan, yang diyakini lebih banyak terjadi namun tidak dilaporkan.
“Pasien sering berada dalam posisi yang lebih lemah. Mereka cenderung mengikuti instruksi dokter meski tidak nyaman. Ini membuka peluang bagi pelanggaran etika,” ujarnya.
Langkah Tegas dan Evaluasi Sistem Pendidikan Kedokteran
Menanggapi kasus ini, Universitas Padjadjaran telah memberhentikan Priguna dari program PPDS dan mencabut seluruh hak akademiknya. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga menjatuhkan sanksi berupa larangan seumur hidup bagi tersangka untuk menjalani residensi di RSHS.
Selain itu, Kemenkes akan mewajibkan tes kesehatan mental tahunan bagi peserta PPDS untuk mendeteksi gejala kejiwaan lebih dini. Kegiatan pendidikan PPDS Anestesi di RSHS juga dibekukan sementara untuk evaluasi menyeluruh bersama pihak kampus.
Langkah ini diharapkan menjadi titik awal pembenahan sistem pendidikan dan pengawasan dokter muda di Indonesia, serta memperkuat perlindungan terhadap pasien dan keluarga mereka dari tindakan tidak etis yang mencederai kemanusiaan.